Kedatangan Islam ke Nusantara
Awal sejarah
Peta lokasi Kesultanan Samudera
Pasai.
Bukti sejarah penyebaran Islam di Nusantara
terkeping-keping dan umumnya tidak informatif sehingga pemahaman tentang
kedatangan Islam ke Indonesia terbatas. Ada perdebatan di antara peneliti
tentang apa kesimpulan yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat Nusantara.[1]:3 Bukti utama, setidaknya dari
tahap-tahap awal proses konversi ini, adalah batu nisan dan kesaksian beberapa peziarah,
tetapi hal ini hanya dapat menunjukkan bahwa umat Islam pribumi ada di tempat
tertentu pada waktu tertentu. Baik pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun Republik Indonesia
lebih memilih situs peninggalan Hindu dan Buddha di Pulau Jawa dalam alokasi sumber daya mereka untuk
penggalian dan pelestarian purbakala, kurang memberi perhatian pada penelitian
tentang awal sejarah Islam di Indonesia. Dana penelitian, baik negeri maupun
swasta, dihabiskan untuk pembangunan masjid-masjid baru, daripada
mengeksplorasi yang lama.[2]
Sebelum Islam mendapat tempat di antara masyarakat
Nusantara, pedagang Muslim telah hadir selama beberapa abad. Sejarawan Merle Ricklefs (1991) mengidentifikasi dua proses
tumpang tindih dimana Islamisasi Nusantara terjadi: antara orang Nusantara
mendapat kontak dengan Islam dan dikonversi menjadi muslim, dan/atau Muslim
Asia asing (India, China, Arab, dll) menetap di Nusantara dan bercampur
dengan masyarakat lokal. Islam diperkirakan telah hadir di Asia Tenggara sejak awal era Islam. Dari waktu
khalifah ketiga Islam, 'Utsman' (644-656) utusan dan
pedagang Muslim tiba di China dan harus melewati rute laut Nusantara, melalui
Nusantara dari dunia Islam. Melalui hal inilah kontak utusan Arab antara tahun
904 dan pertengahan abad ke-12 diperkirakan telah terlibat dalam negara
perdagangan maritim Sriwijaya di Sumatra.
Kesaksian awal tentang kepulauan Nusantara terlacak
dari Kekhalifahan Abbasiyah,
menurut kesaksian awal tersebut, kepulauan Nusantara adalah terkenal di antara pelaut Muslim terutama karena kelimpahan komoditas perdagangan
rempah-rempah berharga seperti Pala,
Cengkeh, Lengkuas dan banyak lainnya.[3]
Kehadiran Muslim asing di Nusantara bagaimanapun tidak
menunjukkan tingkat konversi pribumi Nusantara ke Islam yang besar atau
pembentukan negara Islam pribumi di Nusantara.[1]:3 Bukti yang paling dapat diandalkan
tentang penyebaran awal Islam di Nusantara berasal dari tulisan di batu nisan
dan sejumlah kesaksian peziarah. Nisan paling awal yang terbaca tertulis tahun
475 H (1082
M), meskipun milik seorang Muslim asing, ada
keraguan apakah nisan tersebut tidak diangkut ke Jawa pada masa setelah tahun
tersebut. Bukti pertama Muslim pribumi Nusantara berasal dari Sumatera Utara, Marco Polo dalam perjalanan pulang dari China
pada tahun 1292, melaporkan setidaknya satu kota Muslim,[4] dan bukti pertama tentang dinasti
Muslim adalah nisan tertanggal tahun 696 H (1297
M), dari Sultan Malik al-Saleh,
penguasa Muslim pertama Kesultanan Samudera Pasai, dengan batu nisan selanjutnya
menunjukkan diteruskannya pemerintahan Islam. Kehadiran sekolah pemikiran Syafi'i, yang kemudian mendominasi Nusantara
dilaporkan oleh Ibnu Battutah,
seorang peziarah dari Maroko, tahun 1346.
Dalam catatan perjalanannya, Ibnu Battutah menulis bahwa penguasa Samudera
Pasai adalah seorang Muslim, yang melakukan
kewajiban agamanya sekuat tenaga. Madh'hab yang digunakannya adalah Imam Syafi'i dengan kebiasaan yang sama ia lihat
di India.[4]
Kedatangan Islam ke Nusantara mempunyai sejarah yang
panjang. Satu di antaranya adalah tentang interaksi ajaran Islam dengan
masyarakat di Nusantara yang kemudian memeluk Islam. Terdapat berbagai pendapat
mengenai proses masuknya Islam ke Kepulauan Indonesia, terutama perihal waktu
dan tempat asalnya. Pertama, sarjana-sarjana Barat—kebanyakan dari Negeri
Belanda—mengatakan bahwa Islam yang masuk ke Kepulauan Indonesia berasal dari
Gujarat sekitar abad ke-13 M atau abad ke-7 H. Pendapat ini mengasumsikan bahwa
Gujarat terletak di India bagian barat, berdekatan dengan Laut Arab. Letaknya
sangat strategis berada di jalur perdagangan antara timur dan barat. Pedagang
Arab yang bermahzab Syafi’i telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak awal
tahun Hijriyah (abad ke-7 M). Orang yang menyebarkan Islam ke Indonesia menurut
Pijnapel bukanlah dari orang Arab langsung, melainkan para pedagang Gujarat
yang telah memeluk Islam dan berdagang ke dunia Timur. Pendapat J. Pijnapel
kemudian didukung oleh C. Snouck Hurgronye, dan J.P. Moquetta (1912).
Argumentasinya didasarkan pada batu nisan Sultan Malik Al-Saleh yang wafat pada
17 Dzulhijjah 831 H atau 1297 M di Pasai, Aceh. Menurutnya, batu nisan di Pasai
dan makam Maulana Malik Ibrahim yang wafat tahun 1419 di Gresik, Jawa Timur,
memiliki bentuk yang sama dengan batu nisan yang terdapat di Kambay, Gujarat.
Moquetta kemudian berkesimpulan bahwa batu nisan tersebut diimpor dari Gujarat,
atau setidaknya dibuat oleh orang Gujarat atau orang Indonesia yang telah
belajar kaligrafi khas Gujarat.
Kedua, Hoesein Djajadiningrat mengatakan bahwa Islam
yang masuk ke Indonesia berasal Persia (Iran sekarang). Pendapatnya didasarkan
pada kesamaan budaya dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Parsi dan
Indonesia. Tradisi tersebut antara lain: tradisi merayakan 10 Muharram atau
Asyuro sebagai hari suci kaum Syiah atas kematian Husein bin Ali, seperti yang
berkembang dalam tradisi tabot di Pariaman di Sumatra Barat dan Bengkulu.
Ketiga, Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah)
mengatakan bahwa Islam berasal dari tanah kelahirannya, yaitu Arab atau Mesir.
Proses ini berlangsung pada abad-abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M. Senada
dengan pendapat Hamka, teori yang mengatakan bahwa Islam berasal dari Mekkah
dikemukakan Anthony H. Johns. Menurutnya, proses Islamisasi dilakukan oleh para
musafir (kaum pengembara) yang datang ke Kepulauan Indonesia. Kaum ini biasanya
mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya dengan motivasi hanya
pengembangan agama Islam.
Semua teori di atas bukan mengadaada, tetapi mungkin
bisa saling melengkapi. Islamisasi di Kepulauan Indonesia merupakan hal yang
kompleks dan hingga kini prosesnya masih terus berjalan. Pasai dan Malaka,
adalah tempat dimana tongkat estafet Islamisasi dimulai. Pengaruh Pasai
kemudian diwarisi Aceh Darussalam. Sedangkan Johor tidak pernah bisa melupakan
jasa dinasti Palembang yang pernah berjaya dan mengislamkan Malaka. Demikian
pula Sulu dan Mangindanao akan selalu mengingat Johor sebagai pengirim Islam ke
wilayahnya.
Sementara itu Minangkabau akan selalu mengingat Malaka
sebagai pengirim Islam dan tak pernah melupakan Aceh sebagai peletak dasar
tradisi surau di Ulakan. Sebaliknya Pahang akan selalu mengingat pendatang dari
Minangkabau yang telah membawa Islam. Peranan para perantau dan penyiar agama
Islam dari Minangkabau juga selalu diingat dalam tradisi Luwu dan Gowa Tallo.
Nah, marilah kita pelajari awal masuknya Islam di
Nusantara.Pada pertengahan abad ke-15, ibukota Campa, Wijaya jatuh ke tangan
Vietnam yang datang dari Utara. Dalam kenangan historis Jawa, Campa selalu
diingat dalam kaitannya dengan Islamisasi. Dari sinilah Raden Rahmat anak
seorang putrid Campa dengan seorang Arab, datang ke Majapahit untuk menemui
bibinya yang telah kawin dengan raja Majapahit. Ia kemudian dikenal sebagai
Sunan Ampel salah seorang wali tertua.
Sunan Giri yang biasa disebut sebagai ‘paus’ dalam
sumber Belanda bukan saja berpengaruh di kalangan para wali tetapi juga
dikenang sebagai penyebar agama Islam di Kepulauan Indonesia bagian Timur. Raja
Ternate Sultan Zainal Abidin pergi ke Giri (1495) untuk memperdalam pengetahuan
agama. Tak lama setelah kembali ke Ternate, Sultan Zainal Abidin mangkat,
tetapi beliau telah menjadikan Ternate sebagai kekuatan Islam. Di bagian lain,
Demak telah berhasil mengislamkan Banjarmasin. Mata rantai proses Islamisasi di
Kepulauan Indonesia masih terus berlangsung. Jaringan kolektif keislaman di
Kepulauan Indonesia inilah nantinya yang mempercepat proses terbentuknya
nasionalisme Indonesia.
http://www.gurusejarah.com/2015/01/kedatangan-islam-ke-nusantara.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Penyebaran_Islam_di_Nusantara